Oleh : Dr.Mugni Sn., M.Pd.,M.Kom. (Direktur Poktek Selaparang Lombok/Ketum Pimpus ISNW)Dr.Mugni Sn., M.Pd.,M.Kom (Kanan), AA Lanyalla Mahmud Mattalitti (Kiri)
OPINI | Radarselaparang.com - La Nyala Mataliti saat ini menjabat Ketua DPD RI utusan Jawa Timur. Pernah menjadi Ketua PSSI, Ketua Kadin Jawa Timur, dan lain-lain serta pernah juga bermalam di hotel prodeo tetapi pada akhirnya dibebaskan karena kasusnya tidak terbukti di pengadilan. Ya biasalah ...kali akibat politik. Kok politik gitu ya....emang akan kekal hidupnya?
Saat Musyawarah Nasional Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Munas HIPMI) di Solo, La Nyala saat memberikan sambutan dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPD RI menyampaikan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara pasca amandemen UUD 45 terasa semakin "kacau balau" karena ketatanegaraan kita "aburadul" melenceng jauh dari visi para pendiri bangsa. Salah satu bentuk dan sumber kekacuan itu adalah ada pilihan langsung para top eksekutif. Pemilihan langsung Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota menghabiskan anggaran yang sangat banyak yang berakibat pada semakin banyak hutang negara dan rakyat makin sengsara. Bukan hanya mahal tapi juga bisa mengakibatkan runtuhnya persatuan karena terus terjadi polarisasi di tengah-tengah masyarakat karena beda dukungan. Polarisasipun dipertahankan karena ingin melanjutkan pada periode kedua dan bahkan ketiga.Yang terpilih tidak memposisikan diri sebagai pimpinan seluruh rakyat tetapi menjadi pimpinan pendukung/relawannya. Untuk itu harus kembali ke UUD 45 yang asli. Caranya Presiden harus mengeluarkan dikrit untuk kembali ke UUD 45. Untuk persiapan segala hal pasca dikrit, masa bakti Presiden Jokowi dapat diperpanjang, 1,3 tahun.
Konsep/ide/gagasan untuk kembali ke UUD 45 naskah asli sudah banyak dilontarkan oleh para pihak dengan alasan yang sama bahwa amandeman telah menyebabkan negeri kacau balau semakin jauh dari tujuan awal republik dimeredekan. Banyak pihak yang setuju dengan beberapa catatan salah satunya UUD 45 cukup diadebdum.
Statement La Nyala menjadi kontroversi karena dilanjutkan dengan usul perpajangan masa jabatan presiden menjadi 7 atau 8 tahun sebagai konvensasi dari masa pandemi dan sekaligus untuk persiapan implementasi UUD 45 Naskah Asli yang didikritkan presiden. Dalam konteks ini La Nyala tidak lagi diliat sebagai negarawan tetapi sebagai politisi. Naluri dasar politisi ingin terus berkuasa. Masa jabatan La Nyala ikut juga di perpajang 2,3 tahun sebagai anggota DPD, lebih-lebih lagi jadi Ketua, lumayan kata RG dan HSA. Jadi seharusnya kembali ke UUD 45 tanpa perpanjangan semua yang dipilih rakyat.
Kontravesi perpanjangan masa bakti presiden sudah lama menjadi bahan diskusi karena ada upaya-upaya yang dilakukan oleh para pihak yang berada di lini depan kekuasan. Satu-satunya cara untuk memperpanjang masa bakti presiden tentu harus mengubah UUD yang telah mengamanatkan 2 periode sebagai produk amandenen 2002. Amandemin ini bisa saja terjadi secara teoritis karena parlemen cq MPR yang berwenang untuk mengubah UUD 80 % menjadi partai pendukung pemerintah yang masa baktinya akan diperpanjang. Tapi parlemen di dalam gedung kadang beda dengan parlemen di jalan, lapangan, warung kopi dan tempat nongkrong lainnya. Pihak-pihak yang berniat untuk memperpanjang dengan mengubah UUD harus berpikir ulang karena bisa jadi People Power akan beraksi dan 98 bisa terulang, nauzubillah.
Mengutip pernyataan Pahlawan Nasional asal NTB dalam buku Wasiat Renungan Masa, "Seperlima Abat anakku berpisah; Di sana sini terjadi pitnah". Pernyataan ini bila dikonversi menjadi, Seperti lima abat reformasi; NKRI hampir terbelah; Untuk apa dipertahakan lagi; Kembalilah ke UUD yang asli. Dua puluh lima tahun reformasi yang mengubah ketetanegaraan NKRI. Apa yg diimpikan sebagai spirit reformasi sangat jauh panggang dari api. Ternyata dari berbagai analisa pemilihan langsung menjadi pokok pangkal banyak persoalan yang terjadi.
Anggaran negara habis teriliunan rupiah untuk pelaksanaan pemilihan langsung presiden/gubernur/walikota/bupati. Hasilnya banyak terpilih top eksekutif yang unkafasitas. Kafasitas rendah maka membangun bukan berdasarkan kebutuhan melainkan atas keinginan. Mengapa terpilih? Inilah soalnya. Barang kali karena banyak rakyat yang masih “lapar”.
Anggaran pemilihan langsung ini lebih bermanfaat bila digunakan untuk mengentaskan kemiskinan,menciptakan lapangan kerja dan menyekolahkan putra putri bangsa ke jenjang yang lebih tinggi. Yang berkapasitas dapat dikirim sekolah ke luar negeri untuk bersaing dengan warga dunia dan menjalin kerjsama internasional. Cukuplah yang dipilih DPR/DRPD yang akan memilih para pejabat eksekutif sesuai dengan ketentuan UUD 45 Naskah asli.
Bila kemiskinan dapat ditekan, lapangan kerja tercipta, dan kesempatan meraih pendidikan terakomodir semua untuk rakyat maka IPM pasti meningkat. Semua indikator IPM akan berjalan/terlaksana bila anggaran/biaya tersedia. Anggaran yang selama ini untuk melilih pejabat eksekutif tinggal dialihkan.
Biaya ini bukan hanya dikeluatkan oleh negara untuk penyelenggaraan tapi juga oleh kandidat yang berkopetisi. Bermacam-macam distribusi biaya yang harus disiapkan, mahar partailah, biaya tim, biaya publikasi/logistik, sumbangan dan bahkan ada juga biaya, "serangan darat" alias serangan subuh. Dari manakah uanngya? Dari uang pribadi karena dia kaya raya atau dari cukung atau dari relawan yang mengharapkan balasan. Balasan apa? Bila pengusaha mau dapat proyek. Bila ormas mau bisa pesan program atau mau jadi direktur/direksi BUMN/BUMD. Bila dia birokrat (PNS) mau dapat jabatan yang lebih tinggi bahkan paling tinggi tanpa harus mengindahkan proses.
Bila-bila inilah yg membuat kehidupan bernegara dan berdaerah semakin runyam dan aburadul. Mau dapat proyek, tentu untuk mengembalikan modal bahkan harus untung. Bila ingin dapat program/ jadi direksi/direktur tentu untuk mendapat performan lebih dari yang lain. Bila ingin dapat jabatan tentu untuk prestise, tambah tunjangan, tambah wewenang miskipun kerja tidak beraturan karena karbitan. Ujung dari semua itu rakyat yang menderita karena hasil kerja yang ujungnya untuk rakyat tidak mememuaskan. Anggaran banyak terbuang bisa jadi dari hutang namun hasil tidak karuan. Untuk itu pemilihan top eksekutif secara langsung tidak banyak manfaat untuk rakyat. Oleh karena itu, ide/gagasan banyak pihak, salah satunya La Nyala untuk kembali ke UUD 45 Naskah Asli layak untuk dikaji dan diskusikan lebih lanjut. Waalahuaklam bissawab.