Daftar Isi [Tampil]

Oleh: Abdul Khabir
Mahasiswa Pascasarjana Program Doktor Hukum Keluarga Islam UIN Mataram

OPINI - Tirkah atau Harta waris, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana tata cara untuk mendapatkannya. 

Sistem praktek penerapan dalam pembagian hukum kewarisan masyarakat muslim Lombok, antara lain: pertama, secara Hukum Syari’at, yang dikenal dengan istilah dalam fiqh adalah ilmu fariḍ dengan memberikan hak-hak ahli waris sesuai dengan ketentuan dalam al-Qur’an dan al-Hadits; kedua, secara Hukum Positif merupakan sebuah problema hukum dalam Pengadilan Agama melalui Kompilasi Hukum Islam yang merupakan hasil ijtihd ulama’ Indonesia dalam menyamakan persepsi hukum seperti dalam hukum kewarisan Islam yang selalu mengundang kontroversi di kalangan masyarakat muslim, yaitu al-washiyatu al-Wājibah pada anak angkat dan hukum kewarisan ahli waris pengganti yang diartikan bahwa ahli waris lebih dahulu meninggal dari pewaris (pemilik harta); ketiga, secara Hukum Adat merupakan hukum sosiologis dan kultural, yaitu hukum yang mengalir dan berurat akar pada budaya masyarakat. Namun, dalam tatanan implementasi ia sangat aplicabe dan acceptable dengan berbagai jenis budaya lokal yang menjadi kekuatan moral masyarakat (moral force of people) yang mampu vis a vis hukum positif negara, baik tertulis maupun tidak tertulis. Hukum dalam adat atau budaya sangat tergantung dari keputusan pemangku adat atau tokoh agama.

Penerapan hukum waris harus mengacu kepada ketentuan syari’at tetapi memiliki suatu gagasan bahwa pemberian hak waris dengan menggunakan hukum adat dalam hal jumlah bagian masing-masing ahli waris bisa terjadi sebaliknya, artinya sistem 2:1 akan berubah menjadi 1:2 bahkan 1:1, karena pemberian hak waris secara adat merupakan hak kesepakatan antara sesama ahli waris lain.

Perbedaan ketentuan hukum kewarisan tersebut dipahami Quraish Shihab sebagai akibat dari kodrat, fungsi dan tugas yang dibebankan kepada laki-laki dan yang paling penting adalah lelaki memiliki keistimewaan dalam bidang pengendalian emosi yang lebih tinggi dari wanita. Ini menunjukkan bahwa pengendalian harta atas dasar pertimbangan akal harus didahulukan dari pada pengendalian atas dasar emosi.

Muhammad Sa'id Ramadhan al-Büthi dalam bukunya Al-Mar'ah bayn Thugyân al-Nizham al-Gharbi wa Lithaif al-Tasyri' al-Rabbâní Búthi menegaskan bahwa ketentuan hukum waris tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain, pertama, beban tanggung jawab pemberian nafkah anak lak-laki dibebani untuk membiayai hidup kedua orangtuanya, anak, dan istrinya; kedua, beban mahar anak laki-laki menikahi seorang wanita . Oleh karena itu, sangat tidak adil jika dalam warisan anak perempuan mendapat bagian yang sama dengan anak laki-laki, sementara anak laki-laki memikul dua beban dan tanggung jawab tersebut.

Dalam pandangan feminis dan juga kelompok modernis Islam, ketentuan tersebut tidak adil dan dianggap adanya diskriminatif. Jika Islam mengakui adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, maka sejatinya pembagian warisan antara keduanya sama: 1:1, karena ketentuan ayat di atas bukan bersifat qathi, melainkan lebih bersifat zhanni (dugaan). 

Masdar Farid Mas'udi berpendapat bahwa hal qath'i dari ayat ini, adalah prinsip keadilan yang diembannya dan bukan pembagian 2:1. Ketentuan ini tidak berifat muhkam dan universal, artinya tidak bisa membenarkan dirinya sendiri bahwa teks yang mengatakannya begitu jelas (sharih). Benar salahnya harus diukur pada sejauh mana mencerminkan nilai keadilan-kesetaraan sebagai prinsip muhkam-universal yang diacunya.

Namun, pembagian ini bersifat minimal dan bukan maksimal sehingga sesuai dengan prinsip keadilan, karena sebelum ayat ini turun, perempuan tidak mendapatkan warisan. Sesuai dengan kondisi dan struktur ekonomi keluarga saat itu, hak waris dipandang adil dengan rumusan 2:1. Masdar menggunakan kaidah, "Batasan kuantitatif yang diberikan setelah minus, pada dasarnya bukan maksimal, melainkan minimal". Artinya, dalam kasus-kasus lain, tuntutan keadilan bisa saja menghendaki pembagian laki-laki-perempuan 1:1, bahkan 1:2 dalam arti sesuai maqashidu al-Syari’ah

Menurut Syarifuddin Prawiranegara, pembagian harta warisan dalam surat al-Nisa' ayat 11 terdapat 2 (dua) kategori: pertama, Hukum waris bersifat Voluntary law artinya hukum baru berlaku, jika yang berkepentingan tidak mempergunakan alternatif lain yang tersedia. Salah satu alternatif  adalah shuluh dengan musyawarah untuk mencari kerelaan atas hak dan bagiannya; kedua, hukum waris bersifat compulsory law, yaitu ketentuan hukumnya berlaku secara mutlak Jika diantara ahli waris tidak menemukan kesepakatan, sehingga pembagian warisan dikembalikan pada ketentuan sebagaimana ditetapkan oleh ayat. 

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa secara ijbari prinsip keadilan dalam pembagian waris untuk laki-laki dan perempuan 2:1 tetapi hal ini akan bisa berubah 1:2 bahkan 1:1 karena dengan alasan, pertama kondisi ahli waris dari segi ekonomi bahkan kepedulian ahli waris kepada pewaris pada saat masih hidup. Hal ini, mengacu pada konsep maqōshidu al-syarī’ah berdasarkan kaidah ushul Fiqh “Dar’u al mafāsid muqaddamun ‘ala jalbi mashōlih” artinya menghindari kemudaratan lebih utama dari mendatangkan kemaslahatan. 

Dar’u al mafāsid yang dimaksudkan adalah menghindari kefakiran pada sebagian ahli waris yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata ahli waris yang lain, sedangkan mashōlih adalah penumpukan harta pada sebagian ahli waris yang berkemampuan ekonomi di atas rata-rata ketika pewaris meninggal dunia; kedua, konsep shulh (perdamaian), yaitu prinsip kerelaan yang berdasarkan kesepakatan dari ahli waris sesuai kaidah “al-Shulhu sayyidu al-ahkām” artinya perdamaian atau kerelaan adalah raja dari hukum.