Oleh : EDY USMAN Mahasiswa Pascasarjana Program Doktor Hukum Keluarga Islam UIN Mataram dan Dosen Tetap IAI Hamzanwadi NW Lombok Timur |
OPINI - Pernikahan dini dan pernikahan beda agama merupakan isu yang kerap menimbulkan polemik di masyarakat. Dalam perspektif hukum keluarga Islam, kedua isu ini memiliki dasar-dasar syariat yang perlu dikaji mendalam. Islam memandang pernikahan bukan sekadar ikatan antara dua individu, tetapi juga memiliki dimensi spiritual, sosial, dan hukum. Oleh karena itu, Islam menetapkan berbagai aturan yang bertujuan menjaga keutuhan iman, keharmonisan keluarga, dan keberlangsungan nilai-nilai Islam.
Indonesia, sebagai suatu negara yang memiliki beragam populasi agama dan keyakinan, mengakui kebebasan beragama sebagai hak fundamental setiap individu sesuai dengan UUD 1945. Meskipun demikian, pelaksanaan kebebasan beragama, terutama dalam situasi perkawinan lintas agama, masih menghadapi tantangan dan perdebatan
1. Hukum Pernikahan dalam Islam
Pada prinsipnya, istilah perkawinan berasal dari Bahasa Arab yang dikenal dengan kata "nikah". Kata "nikah" memiliki makna "al-wathi', al-dammu wa altadakhul". Terkadang juga disebut sebagai "al-dammu wa al-jam'u" atau seperti 'an al-wath wa al-'aqd yang merujuk pada perbuatan bersetubuh, berkumpul, serta akad. Dalam istilah bahasa Arab, pernikahan juga dikenal dengan istilah "ziwaaj", sehingga kata "nikah" memiliki dua pengertian, yaitu dalam makna sebenarnya (hakikat) dan dalam pengertian kiasan (majaaz)
Pernikahan dalam Islam adalah ibadah yang memiliki kedudukan penting. Pernikahan dipandang sebagai sarana untuk menjaga kesucian, menyalurkan kebutuhan biologis secara halal, dan membangun keluarga yang harmonis. Allah SWT berfirman :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar-Rum: 21)
Ayat ini menunjukkan bahwa pernikahan bertujuan untuk mencapai sakinah (ketenteraman), mawaddah (kasih sayang), dan rahmah (kasih Allah). Namun, tujuan tersebut hanya dapat tercapai jika pernikahan dilakukan sesuai syariat.
Menurut hukum agama, pernikahan dianggap sebagai per suci (seperti sakramen atau samskara), yaitu sebuah komitmen antara dua individu untuk memenuhi perintah dan petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa.
2. Larangan Pernikahan Beda Agama
Dalam Islam, ada ketentuan yang jelas terkait pernikahan beda agama. Allah SWT berfirman:
Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin lebih baik daripada perempuan musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuan-perempuan mukmin) sebelum mereka beriman. (QS. Al-Baqarah: 221).
Ayat ini secara tegas melarang pernikahan dengan orang musyrik. Namun, Al-Qur’an juga memberikan pengecualian untuk laki-laki Muslim menikahi perempuan dari ahlul kitab (Yahudi atau Nasrani) dalam kondisi tertentu.
Menurut Qatadah, tujuan dari ayat yang menyatakan "dan janganlah kamu mengawini perempuan musyrik, sebelum mereka beriman" adalah agar wanita-wanita musyrik yang bukan berasal dari kalangan ahli kitab tidak boleh dinikahi sebelum mereka memeluk agama Islam. Ayat ini memiliki makna yang umum dalam teksnya namun juga memiliki implikasi khusus dalam konteks yang lebih dalam, dan tidak ada perubahan hukum yang menghapuskan aturan ini.
Dan dihalalkan menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dari kalangan orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu, apabila kamu telah memberikan maskawin kepada mereka dengan maksud menikahinya, tidak untuk berzina. (QS. Al-Maidah: 5).
Walaupun ada kelonggaran ini, mayoritas ulama membatasi kebolehannya, dengan alasan menjaga akidah keluarga dan pendidikan anak-anak dalam lingkungan yang Islami.
3. Pernikahan Dini dalam Islam
Pernikahan dini merujuk pada pernikahan yang dilakukan di usia muda sebelum mencapai kematangan emosional dan psikologis. Dalam Islam, pernikahan dini diperbolehkan dengan syarat calon pengantin telah baligh secara fisik dan siap secara mental serta finansial. Rasulullah SAW bersabda :
Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang sudah mampu menikah, maka menikahlah. Karena pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Namun, barang siapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi penahan nafsu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa kemampuan menikah bukan hanya soal usia, tetapi juga kesiapan fisik, mental, dan ekonomi. Jika tidak siap, pernikahan dapat menjadi sumber masalah, seperti konflik rumah tangga atau keretakan hubungan.
4. Tantangan Pernikahan Dini Beda Agama
Ketika pernikahan dini dikaitkan dengan perbedaan agama, tantangannya menjadi lebih kompleks. Selain persoalan kesiapan mental dan emosional pasangan muda, pernikahan beda agama menimbulkan persoalan dalam pendidikan agama anak, kepatuhan terhadap hukum syariat, dan keutuhan iman. Nabi Muhammad SAW menekankan pentingnya memilih pasangan yang baik agamanya :
Wanita dinikahi karena empat perkara : karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang baik agamanya, niscaya engkau beruntung. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa agama adalah faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam memilih pasangan. Hal ini bertujuan agar rumah tangga dapat berjalan sesuai dengan ajaran Islam.
5. Dampak Pernikahan Dini Beda Agama
Dampak pernikahan dini beda agama dapat berpengaruh pada berbagai aspek kehidupan, antara lain :
1. Keharmonisan Rumah Tangga
Perbedaan keyakinan sering kali menjadi sumber konflik dalam rumah tangga. Hal ini diperparah jika pasangan masih muda dan belum matang dalam menyelesaikan perbedaan.
2. Pendidikan Anak
Anak-anak yang lahir dari pernikahan beda agama berisiko mengalami kebingungan identitas agama, terutama jika tidak ada kesepakatan yang jelas antara orang tua tentang pola asuh.
3. Hubungan dengan Lingkungan
Dalam masyarakat Muslim, pernikahan beda agama kerap menimbulkan stigma sosial dan dapat memengaruhi hubungan keluarga besar maupun komunitas.
Dampak ini mencakup aspek keagamaan dan psikologis, baik terhadap pasangan dengan keyakinan yang berbeda maupun terhadap anak-anak. Menurut hukum, kelahiran anak dari pasangan beda agama tidak diakui secara hukum. Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan menetapkan bahwa anak yang dianggap sah adalah anak yang lahir dari pernikahan yang sah. Kriteria pernikahan sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1), harus sesuai dengan norma hukum agama dan keyakinan masing-masing pasangan.
6. Kesimpulan dan Solusi
Dalam perspektif hukum keluarga Islam, pernikahan dini beda agama tidak dianjurkan karena bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Islam memprioritaskan kesesuaian agama dalam pernikahan demi menjaga keutuhan akidah, keharmonisan keluarga, dan pendidikan generasi mendatang.
Sebagai solusinya, umat Islam dianjurkan untuk memprioritaskan persiapan mental, emosional, dan spiritual sebelum menikah. Selain itu, pembinaan keluarga berbasis nilai-nilai Islam harus terus dilakukan untuk meminimalkan risiko pernikahan yang tidak sesuai syariat. Hal ini mencakup pendidikan agama yang baik bagi generasi muda serta pemahaman mendalam tentang tanggung jawab pernikahan.
Ikuti kami di berita google