Daftar Isi [Tampil]

Ahmad Muzakkir, SH. Wakil Sekretatis II Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Bali Nusra
MATARAM Radarselaparang.com || Baru-baru ini dua kebijakan pemerintah yang di nilai kontroversial. Pertama, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) telah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025. Kedua, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Kebijakan tersebut mengundang perhatian khalayak, mulai dari ekonom, pengusaha, aktivis pemuda, hingga masyarakat umum.

Ahmad Muzakkir, SH. Wakil Sekretatis II Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Bali Nusra, menilai wacana penerapan Tax Amnesty dan PPN 12 %, Perlu pendekatan Jangka Panjang dan Ditinjau Ulang.

"Tax Amnesty dan PPN 12% ini kebijakan yang mencerminkan upaya pemerintah untuk mengatasi masalah fiskal dan memperbaiki sistem perpajakan di Indonesia. Namun, kedua kebijakan ini juga memiliki tantangan yang perlu diperhatikan," ungkap Zakkir.

Tax Amnesty: Jalan Pintas atau Pemicu Moral Hazard?

Secara umum, Tax Amnesty merupakan bagian dari kebijakan pemerintah di bidang perpajakan untuk memberikan pengampunan atau penghapusan pajak yang seharusnya terutang kepada Wajib Pajak dengan tidak mengenakan sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana perpajakan bagi Wajib Pajak.

Tax amnesty sebelumnya telah dilaksanakan pada 2016 dan 2022 melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Kedua program ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, memperluas basis pajak, dan mendongkrak penerimaan negara. 

Diketahui bahwa pada pelaksanaan Tax Amnesty Jilid I (2016) yang dilaksanakan selama sembilan bulan pelaksanaan, pemerintah mengantongi uang tebusan sebesar Rp114 triliun. Lalu dilanjut pada Tax Amnesty Jilid II (2022) yang dilaksanakan 6 tahun dari Jilid I, hanya menerima uang tebusan sebesar RP61 triliun dan dinilai tidak meningkatkan partisipasi wajib pajak dalam program pengampunan pajak ini. 

Menurut zakkir panggilan akrabnya yang juga lawyer Muda ikadin, pemerintah perlu pertimbangkan efektifitas tax amnesty, jika di berlakukan dengan rentan waktu yang berdekatan seperti tax amnesty jilid I, II dan wacana tax amnesty jilid III. termasuk analisis risiko jangka panjang terhadap kepatuhan pajak masyarakat.

"Jika program ini terus diulang, bisa muncul Moral Hazard, wajib pajak mungkin memilih untuk tidak patuh, malas membayar pajak secara reguler karena harapan pemerintah akan kembali menawarkan pengampunan pajak,"ujar Zakkir

Selain itu, Kebijakan ini mungkin menurunkan urgensi untuk melakukan reformasi jangka panjang dalam sistem perpajakan, karena ada kecenderungan pemerintah untuk lebih mengandalkan tax amnesty sebagai cara mudah untuk mendongkrak penerimaan pajak dalam jangka pendek, Ini berisiko merusak disiplin dan kepercayaan dalam sistem perpajakan.

PPN 12%: Dampak bagi Ekonomi dan Masyarakat

Di tengah wacana tax amnesty, pemerintah juga merencanakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025, terutama untuk barang mewah.

Menurut zakkir, kebijakan tersebut dapat dianggap sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dari kelompok masyarakat kaya, sehingga menciptakan keadilan fiskal, Namun, terdapat beberapa tantangan signifikan dalam implementasinya.

"Memang kebijakan tersebut sebagai upaya meningkatkan penerimaan negara, terutama dari segmen masyarakat yang memiliki daya beli lebih tinggi, namun tentu ada tantangan segnifikan juga, seperti daya beli masyarakat, pertumbuhan ekonomi, ketimpangan, bahkan pengaruh pada industri dan lapangan kerja," terang Zakkir

Dampak pada Daya Beli dan Pertumbuhan Ekonomi 

Dikatan Zakkir, Kenaikan PPN pada barang mewah berpotensi menurunkan konsumsi barang-barang tersebut, terutama di tengah pemulihan ekonomi yang masih rapuh. Masyarakat kelas atas yang sebelumnya mengonsumsi barang mewah bisa menurunkan pengeluaran mereka, yang pada gilirannya akan memengaruhi industri-industri terkait, seperti otomotif, properti, dan barang-barang mewah lainnya. Ini bisa berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi kelas menengah ke atas.

Ketimpangan yang Mungkin Ditingkatkan: Meskipun dimaksudkan untuk memberikan beban pajak lebih pada golongan kaya, ada kemungkinan kebijakan ini justru memperburuk ketimpangan dalam masyarakat. Misalnya, jika kebijakan ini tidak disertai dengan kebijakan yang mendukung kelas menengah dan bawah, seperti pengurangan pajak atau subsidi barang kebutuhan pokok, maka hanya akan memperburuk ketidaksetaraan yang sudah ada. Kenaikan PPN barang mewah bisa jadi hanya menambah tekanan bagi konsumen kelas atas yang memiliki pengeluaran besar, sementara golongan miskin tetap tidak mendapat manfaat langsung.

Pengaruh pada Industri dan Lapangan Kerja: Banyak sektor industri yang berfokus pada barang mewah (seperti otomotif, fashion, dan properti) bisa mengalami penurunan permintaan akibat kenaikan pajak ini. Penurunan permintaan ini dapat berimbas pada PHK atau penurunan pendapatan bagi pekerja yang terlibat di sektor tersebut, yang malah berpotensi memperburuk kondisi sosial-ekonomi di lapisan menengah.

Menurut Zakkir, kedua kebijakan ini tax amnesty dan kenaikan PPN barang mewah memiliki relevansi dalam konteks pemulihan ekonomi Indonesia, khususnya dalam meningkatkan penerimaan pajak dan mendiversifikasi sumber pendapatan negara. Namun, ada beberapa kritik yang perlu diperhatikan agar kebijakan ini tidak menciptakan ketidakadilan sosial atau merugikan sektor-sektor yang rentan.

"Tax amnesty berisiko menurunkan kepercayaan terhadap sistem perpajakan jangka panjang, sementara kenaikan PPN 12 % pada barang mewah dapat memperburuk ketimpangan jika tidak disertai dengan kebijakan pendukung lainnya," tutup Zakkir. (RS)


Ikuti kami di berita google